Menyoal Tanggung Jawab Pemegang Saham Perseroan

Menyoal Tanggung Jawab Pemegang Saham Perseroan

Beberapa kasus besar yang terjadi di Indonesia, misalnya terjerembabnya beberapa Bank pasca krisis moneter ‘98, banyak diakibatkan oleh tindakan tidak terpuji pemilik yang menggunakan perseroan terbatas (PT) sebagai vehicle untuk memperkaya diri .

Sudah menjadi adagium umum di Indonesia istilah “PT boleh kolap, tapi owner tetap harus mengkilap” istilah ini mencerminkan tanggung jawab terbatas (limited liabilities); yang menjadi ciri khas PT, telah dimanfaatkan segelintir pengusaha untuk lari dari tanggung jawabnya. Dibandingkan dengan bentuk badan usaha lainnya, badan hukum PT, menurut James D. Cox & Thomas L. Hozen (2000), dapat menstimulasikan investasinya dengan baik, dan pemilik modal (pemegang saham) dapat dengan mudah menghitung untung rugi atas investasi yang mereka tanam. Lawrence S. Clark dan Peter D. Kinder (1998) menambahkan “limited partnership is designed to meet the needs of investor, who want to tax the advantages of being a partner, but do not want to be active.” Sehingga bukan hanya di Indonesia, tapi diseluruh dunia, PT memegang peranan penting dalam dunia bisnis modern.

Di Indonesia, PT banyak digunakan oleh bisnis keluarga sebagai wadah usahanya, sehingga dapat dipastikan meskipun berbentuk PT, dalam operasi sehari – hari dijalankan seolah perusahaan keluarga atau perorangan. Dengan kata lain secara lembaga hukum adalah PT, tetapi secara substansial adalah perusahaan perorangan/keluarga. Kondisi inilah yang mengakibatkan terjadi “piercing the corporate veil” atau diobrak-abriknya aturan –aturan PT oleh pemegang sahamnya sendiri untuk kepentingan pribadi.

James E. Clapp (2000) menyatakan piercing the corporate veil sebagai “distinction between corporation and owner” dimana pemilik menggunakan PT untuk  tujuan yang tak patut, sedangkan dalam Black Law Dictionary disebutkan sebagai “judicial process whereby court will disregard usual immunity of corporate officers or entities from liability for corporate activities…”. Dengan demikian jelas jika terjadi tindakan tidak terpuji (penyelewengan) oleh shareholders, tanggung jawab terbatas (limited liabilities) yang diberikan hukum terhadap pemegang saham dapat dikecualikan, sehingga tanggung jawab pemegang saham, bahkan komisaris dan direksi, menjadi tidak terbatas sampai harta pribadinya.

Ketentuan UUPT

Pasal 3 ayat (2) UUPT No. 40 tahun 2007 juga mengadopsi ketentuan piercing the corporate veil, yang secara tegas menyatakan tanggung jawab terbatas pemegang saham menjadi tidak berlaku apabila :

  1. Persyaratan Perseroan sebagai badan hukum belum atau tidak terpenuhi.
  2. Pemegang saham bersangkutan baik langsung maupun tidak dengan itikad buruk memanfaatkan perseroan untuk kepentingan pribadi.
  3. Pemegang saham yang bersangkutan terlibat dalam perbuatan melawan hukum yang dilakukan perseroan, atau
  4. Pemegang saham yang bersangkutan baik langsung maupun tidak langsung secara melawan hukum menggunakan kekayaan perseroan, yang mengakibatkan kekayaan Perseroan menjadi tidak cukup untuk melunasi utang perseroan.

Dengan pasal ini, ketentuan Pasal 3 ayat (1) UUPT mengenai tanggung jawab terbatas pemegang saham dapat dihapus, apabila terbukti telah terjadi percampuradukan harta pribadi pemegang saham dan harta kekayaan PT serta PT didirikan semata-mata untuk tujuan pribadi dan itikad buruk pemegang saham. Jadi pemegang saham nakal seperti ini secara hukum selain terkena ancaman pidana, juga  bertanggung jawab secara penuh sampai harta pribadinya.

Hukum bukan sub sektor ekonomi

Hukum pada masa lalu hanya merupakan sub sektor ekonomi, saat itu hukum  hanya berfungsi sebagai kemasan lapuk dari suatu transaksi bisnis, sehingga tidak heran kalau banyak pengusaha Indonesia yang kemudian terjebak dalam  perjanjian–perjanjian terutama dengan pihak asing, karena mereka tidak aware dengan isi perjanjian, sementara pihak asing menggunakan lawyer profesional. Di tingkat pengusaha lokal kurangnya keperdulian dan pengetahuan mereka di bidang hukum juga mengakibatkan banyak pengusaha jujur menjadi bangkrut, karena terjebak dalam rekayasa hukum. Sementara penggunaan jasa lawyer terbentur pada biaya yang cukup mahal. Dalam kasus pembentukan PT di samping memang ada pengusaha yang beritikad tidak baik, namun tidak sedikit pengusaha jujur yang membentuk PT kemudian terjebak dalam masalah hukum, karena kurangnya pemahaman terhadap peraturan UU yang berlaku. Oleh karenanya sudah saatnya bagi para pengusaha untuk lebih aware dan menambah pengetahuan mereka di bidang hukum.

Lemahnya pengawasan

Lemahnya pengawasan terhadap perjalanan usaha PT setelah pendirian adalah salah satu faktor yang perlu dicermati. Departemen Kehakiman dan HAM cq Direktorat Jenderal Administrasi Hukum Umum, hanya melakukan tugas yang bersifat administrasi formal. Pengesahan dan pelaporan pendirian PT dan amendemennya sebatas hanya pengawasan terhadap pemenuhan persyaratan formal, sedangkan secara material isi akte hampir-hampir tidak tersentuh. Instansi pemberi ijin usaha yang seharusnya juga melakukan pengawasan intensif juga tidak melakukan secara kontinyu dan konsisten.

Demikian juga Deperindag yang bertugas sebagai pelaksana dan pengawas pendaftaran perusahaan berdasarkan Undang–undang No. 3 tahun 1982 tentang Wajib Daftar Perusahaan, terjebak dengan clerical work pencatatan saja. Koordinasi antara DepKeh & HAM dengan instansi pemberi izin dan Deperindag seharusnya dilakukan secara terus menerus dan pro aktif. Sistem koordinasi pengawasan harus dibentuk sesegera mungkin, sebagai bagian dari tata kelola perusahaan yang baik dan manajemen resiko.

Di bidang law enforcement, pembuktian terhadap piercing the corporate veil memang harus komprehensif, tidak hanya menggunakan laporan keuangan, tetapi juga dukungan bukti formal dan materiil dari instansi pemerintah yang terkait dengan pendirian dan izin usaha PT. Dengan demikian tata kelola perusahaan yang baik (good corporate governance) dan manajemen resiko bukan sekadar alat promosi perusahaan, tetapi harus menjadi komitmen dunia usaha dalam mempersiapkan diri menghadapi pasar bebas tidak lama lagi.

Dr. Rudi Agustian Hassim, S.H., M.H.
Managing Partner RAH & PARTNERS LAW FIRM