Kontrak Standar Dan Perlindungan Konsumen

KONTRAK STANDAR DAN PERLINDUNGAN KONSUMEN

Pendahuluan

“Standard form contract probably accounts for more than ninety percent of all the contracts now made. Most persons have difficulty remembering the last time they contracted other than by standard form”

Menarik apa yang dilaporkan dalam Harvard Law Review tahun 1971, bahwa lebih dari 90% kontrak di Amerika Serikat berbentuk kontrak standar (standard form). Kontrak Standar adalah kontrak berbentuk tertulis yang telah digandakan dalam bentuk formulir-formulir yang isinya telah dibakukan terlebih dahulu secara sepihak oleh pelaku usaha, serta ditawarkan secara massal tanpa mempertimbangkan perbedaan kondisi yang dimiliki oleh konsumen (take it or leave it contract). Munculnya kontrak standar dalam lalu lintas hukum dilandasi oleh kebutuhan akan pelayanan yang efektif dan efisien terhadap kegiatan transaksi, oleh karena itu sifat utama dari kontrak standar adalah pelayanan yang cepat terhadap kegiatan transaksi yang berfrekuensi tinggi, walaupun mungkin konsumen yang akan melakukan hubungan hukum adakalanya tidak sempat mempelajari syarat-syarat perjanjian dalam kontrak standar tersebut.

Hal yang sama terjadi di negara-negara maju lainnya, kuantitas transaksi yang sangat tinggi memaksa para pelaku usaha berlaku efisien dan efektif dengan mempersiapkan segala sesuatunya dalam formulir–formulir yang sudah distandarisasi. Tentunya fenomena ini tidak selalu negatif, kontrak standar sebenarnya adalah untuk memberi kepraktisan dalam bertransaksi dan mempermudah penerapan teknologi informatika. Kondisi ini tentunya harus diimbangi oleh kesadaran dari konsumen atas hak-haknya, seperti yang selalu didengungkan oleh J.F Kennedy, mantan presiden Amerika yang terbunuh, yaitu Right To Safety, Right To Be Informed, Right To Choices dan Right To Be Heard, pesan – pesan ini dikenal sebagai consumer bill of rights.

Di Indonesia kita patut terhibur dengan telah diundangkannya secara khusus Undang–Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen (UUPK). Kehadiran UUPK ini menjadi pelepas dahaga bagi masyarakat yang tentunya mayoritas adalah konsumen; seperti tertulis dalam konsideransnya UUPK merupakan perundang-undangan yang mewujudkan “a balance of protection between the consumers and entrepreneurs.”

Klausula Baku dalam Kontrak Standar menurut UUPK

Menurut UUPK, pengertian klausula baku dalam Pasal 1 angka 10 adalah, “setiap aturan atau ketentuan dan syarat-syarat yang telah dipersiapkan dan ditetapkan terlebih dahulu secara sepihak oleh pelaku usaha yang dituangkan dalam suatu dokumen dan/atau perjanjian yang mengikat dan wajib dipenuhi oleh konsumen.”

Setidak–tidaknya ada 5 persyaratan mengenai klausula baku yang diatur dalam UUPK, yaitu:

(1)     Pelaku Usaha dilarang membuat atau mencantumkan klausula baku pada setiap dokumen dan/atau perjanjian apabila:

  • (a) Menyatakan pengalihan tanggung jawab pelaku usaha, dalam hal ini pelaku usaha harus berhati–hati atas “assignment clause” yang biasa terdapat di dalam perjanjian. Kelihatannya UUPK menganut asas obligation can not be assigned.
  • (b) Menyatakan bahwa pelaku usaha berhak menolak penyerahan kembali barang yang dibeli konsumen. Hal ini dikaitkan dengan product liability, Pelaku usaha harus bertanggung jawab atas produknya dan harus dapat membuktikan bahwa kerusakan produk diakibatkan oleh kelalaian dari konsumen. Tetapi jika terbukti ada unsur kesalahan yang disengaja dari pelaku usaha, maka selain penggantian ganti rugi, tidak menutup kemungkinan adanya tuntutan pidana. (Pasal 19 jo Pasal 62).
  • (c) Menyatakan bahwa pelaku usaha menolak penyerahan kembali uang yang dibayarkan atas barang dan/atau jasa yang dibeli oleh konsumen. Hal ini juga berkaitan dengan product liability dalam Pasal 19.
  • (d) Menyatakan pemberian kuasa dari konsumen kepada pelaku usaha, baik secara langsung maupun tidak langsung untuk melakukan segala tindakan sepihak yang berkaitan dengan barang yang dibeli oleh konsumen secara angsuran. Jika pelaku usaha menerima kuasa dari konsumen, maka  muncul “material adverse conflict of interest” dan karenanya ketentuan ini tidak boleh ada dalam kontrak standar.
  • (e) Mengatur perihal pembuktian atas hilangnya kegunaan barang atau pemanfaatan jasa yang dibeli oleh konsumen. Pembuktian yang dimaksud dalam Pasal 19 ayat 5 adalah “pembuktian aktif” dari pelaku usaha atas kesalahan penggunaan prosedur barang dan/atau produknya.
  • (f)  Memberi hak kepada pelaku usaha untuk mengurangi manfaat jasa atau mengurangi harta kekayaan konsumen yang menjadi obyek jual –beli jasa.
  • (g) Menyatakan tunduknya konsumen kepada peraturan yang berupa aturan baru, tambahan, lanjutan dan/atau pengubahan lanjutan yang dibuat sepihak oleh pelaku usaha dalam masa konsumen memanfaatkan jasa yang dibelinya.
  • (h) Menyatakan bahwa konsumen memberi kuasa kepada pelaku usaha untuk pembebanan hak tanggungan atau hak jaminan terhadap barang yang dibeli oleh konsumen secara angsuran.

(2)     Pelaku usaha dilarang mencantumkan klausula baku yang letaknya atau bentuknya sulit terlihat atau tidak dapat dibaca secara jelas atau yang pengungkapannya sulit dimengerti. Dalam praktek, hal ini sering kita jumpai dalam dokumen–dokumen seperti polis asuransi, perjanjian jual beli angsuran, perjanjian pembiayaan konsumen, perjanjian credit card yang pencantuman syarat-syaratnya menggunakan huruf-huruf yang amat kecil yang apabila ingin “direnvoi” oleh konsumen yang tidak setuju dengan satu atau lebih syarat perjanjian, ruang untuk itu sudah tidak cukup lagi.

 (3)     Setiap klausula baku yang telah ditetapkan oleh pelaku usaha pada dokumen atau perjanjian yang memuat larangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 ayat 1 dan 2 dinyatakan batal demi hukum. Walaupun kontrak standar telah dinyatakan batal demi hukum,  bukan berarti hak konsumen melaporkan tindak pidana terhadap pelaku usaha  ikut batal (Pasal 19 ayat 4)

 (4)     Pelaku usaha yang masih mencantumkan klausula baku yang isinya dilarang sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 18 ayat 1 dan 2, diancam dengan pidana penjara maksimal 5  tahun atau pidana denda maksimal 2 milyar rupiah (Pasal 62 ayat 1).

 (5)     Pengawasan terhadap larangan pencantuman klausula tersebut menjadi tugas dan wewenang Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen.

Dengan demikian menurut UUPK penggunaan klausula baku dalam kontrak standar tidak dipermasalahkan, namun dengan mentaati beberapa hal sebagaimana dimaksud di atas.

Pro dan Kontra Kontrak Standar

Para pakar hukum seperti Dr. E.H. Hondius dalam bukunya “Compendium Hukum Belanda” dan Sluijter mengatakan bahwa kontrak standar bukan perjanjian, karena kedudukan pengusaha dalam kontrak itu adalah seperti pembentuk undang-undang swasta. Pitlo menyatakan kontrak standar sebagai perjanjian paksa (dwang contract) karena teori hukum perjanjian tersebut tidak memenuhi ketentuan undang-undang, Namun Stein berpendapat kontrak standar dapat diterima sebagai perjanjian berdasarkan fiksi adanya kemauan dan kepercayaan bagi para pihak untuk mengikatkan diri pada perjanjian tersebut. Jika debitur /konsumen menerima dokumen perjanjian tersebut, berarti secara sukarela setuju pada isi perjanjian tersebut. Demikian juga Asser Rutten berpendapat kontrak standar itu mengikat karena setiap orang yang menandatangani suatu perjanjian harus dianggap telah mengetahui dan menyetujui isi kontrak tersebut.

Terlepas dari pro dan kontra mengenai kontrak standar. tidak dapat dipungkiri dalam kenyataan praktek bisnis, kontrak standar tidak dapat dihindari karena merupakan kebutuhan bisnis dan teknologi di dunia usaha yang serba cepat, mudah dan praktis. Dapat di bayangkan bagaimana para pelaku usaha di bidang pembiayaan konsumen yang kuantitas kontraknya dapat berjumlah ribuan per hari atau di industri perbankan yang serba cepat dan industri lain yang harus melakukan transaksi ribuan lainnya harus membuat perjanjian yang sifatnya tailor made, belum lagi masalah pencatatan transaksi yang tentunya akan lebih mudah dilakukan dengan standard form dan mengunakan pencatatan secara elektronik. Hal yang paling penting dalam masalah ini adalah bagaimana meningkatkan kesadaran konsumen akan pentingnya hak-hak mereka sebagai konsumen, dan tentunya campur tangan negara dan pemerintah melalui peraturan perundang–undangan yang memenuhi aspirasi dan kepentingan serta melindungi konsumen dan juga dunia usaha. Peran lembaga-lembaga konsumen dan asosiasi – asosiasi pengusaha di masing-masing sektor juga penting untuk menyampaikan kendala-kendala yang di hadapi masing-masing pihak, terutama berkenaan dengan kebijakan pemerintah dan regulasi perlindungan konsumen.

Dr. Rudi Agustian Hassim, S.H., M.H.
Managing Partner RAH & PARTNERS LAW FIRM