INTRODUKSI KEPADA FINANSIAL TEKNOLOGI

INTRODUKSI KEPADA FINANSIAL TEKNOLOGI

1.    Fintech: Umum

Perkembangan teknologi di era digital telah menciptakan lapangan-lapangan usaha baru, serta model bisnis baru yang dipercaya mampu menggerakan perekonomian negara, sertaber potensi menciptakan peningkatan dan pemerataan taraf hidup masyarakat.

Salah satu sector usaha berbasis teknologi yang tengah menjadi primadona di tahun 2018 adalah Financial Technology atau Fintech. Fintech sendiri memiliki pengertian umum yang cukup luas; usaha yang memadukan teknologi dengan industry keuangan dapat dikatakan sebagai fintech. E-money dan platform pembiayaan digital peer to peer lending, sebagai contohnya, kemungkinan besar sudah tidak awam lagi di telinga kita.

Secara statistik, BI memperkirakan bahwa total nilai transaksi fintech di Indonesia pada tahun 2017 mencapai US$ 18,65 milliar, dengan kenaikansekitar 24% dari tahun sebelumnya. Di tahun 2018, angka tersebut diprediksi akan terus meningkat dengan cepat.

Meskipun merupakan industri yang sangat diminati oleh pelaku usaha dan investor, pelaksanaan usaha fintech di Indonesia tentunya bukan tanpa hambatan. Salah satu roadblock terbesar dari industri yang relative baru ini adalah regulasi dan hukum. Aspek hukum dari sector usaha fintech masih patut dipandang sangat volatil, karena pemerintah, terutama OJK dan BI, masih sibuk menggodok peraturan-peraturan untuk mengatur sector usaha ini.

Oleh karena itu, sangat penting bagi pelaku usaha fintech untuk selalu memiliki dukungan dari segi hukum yang baik, yang mampu memberikan up-to-date insights demi kelancaran dan kesuksesan usahanya.

2.    E-Money: Relevansi konsultan hukum

Untuk membayar tol, naik bus transjakarta, membayar parkir, membeli kopi atau belanja kebutuhan sehari-hari; Uang Elektronik atau E-Money pelan-pelan menjadi alat pembayaran nontunai yang esensial dalam menjalankan keseharian kita di Indonesia.

Walaupun terlihat simpel, penyelenggaraan E-Money dapat melibatkan banyak pihak, mulai dari penerbit E-Money, Acquirer, Prinsipal, Penyelenggara Switching, Penyelenggara Kliring dan Penyelenggara Penyelesaian Akhir. Setiap kegiatan dan operasi dari penyelenggara-penyelenggara tersebut diatur dan memerlukan izin yang diterbitkan oleh Bank Indonesia, sebagaimana diatur dalam Peraturan BI No 20/6/PBI/2018 tentang Uang Elektronik.

Terdapat satu poin menarik dalam PBI 6-2018 yang menyangkut peran penting dari seorang konsultan hukum dalam proses perizinan penyelenggaraan E-Money. Demi memproses izin sebagai penyelenggara E-Money, pemohon harus menyerahkan pernyataan dari konsultan hukum yang independen dan professional berdasarkan hasil uji tuntas dari segi hukum bahwa: (1) pemohon didirikan secara sah berdasarkan hukum Indonesia, (2) pemohon tidak sedang dalam kondisi wanprestasi atau default, tidak sedang dikenakan sanksi, dan tidak terlibat perkara pidana atau perdata yang dapat berpengaruh secara material terhadap kelangsungan usaha pemohon, dan (3) tidak terdapat permohonan kepailitan atau penundaan kewajiban pembayaran utang terhadap pemohon.

Oleh karenanya, demi kelancaran proses perizinan dan kegiatan usaha penyelenggaraan E-Money, diperlukan asistensi konsultan hukum yang mampu melakukan legal due diligence yang tepat dan efisien.

3.    Peer to Peer Lending: Perlindungan terhadap Pemberi Pinjaman

Platform Peer to Peer Lending, atau sering disebut P2P Lending, adalah satu bentuk alternative pembiayaan berbasis fintech yang saat ini tengah berkembang di Indonesia. Per Maret 2018, terdapat setidaknya 40 penyedia layanan P2P lending yang terdaftar di OJK.

Pada dasarnya P2P lending adalah suatu layanan yang mempertemukan pihak yang membutuhkan pinjaman (debitur) dengan pihak yang mau memberikan pinjaman (kreditur). Bagi seorang debitur, P2P Lending tentunya menguntungkan karena memperluas pilihan untuk mendapat dana, diluar cara-cara pembiayaan konvensional seperti pinjaman bank.

Untuk menarik minat masyarakat agar mau memberikan pinjaman, seorang kreditur sering kali dipersamakan sebagai seorang investor; cukup dengan memberikan uangnya, kreditor/investor akan mendapat keuntungan berupa bunga pinjaman yang cukup tinggi.

Selayaknya suatu pinjaman, selalu akan ada risiko non-performance atau gagal bayar oleh debitur. Salah kaprah apabila kreditor/investor menganggap risiko tersebut sepenuhnya merupakan tanggungan penyedia layanan P2P lending. Sesuai dengan konstruksi P2P lending berdasarkan Peraturan OJK No. 77/POJK.01/2016, perjanjian pinjam meminjam dibuat tetap hanya antara debitur dengan kreditur (walaupun memang diwakili oleh penyedia layanan P2P lending). Dengan kata lain, akibat non-performance justru lebih akan dirasakan oleh kreditur!

Penyedia layanan P2P lending tidak memberikan jaminan pembayaran terhadap kreditur, dan oleh karenanya, dalam keadaan non-performance atau gagal bayar, kreditur akan berpangku tangan pada jaminan-jaminan yang diberikan oleh debitur. Walaupun demikian, sebagai fasilitator antara kreditur dan debitur, tentunya penyedia layanan P2P lending juga tidak akan langsung lepas tangan. Peraturan OJK No. 77/POJK.01/2016 juga mewajibkan dibuatnya perjanjian layanan antara penyedia layanan P2P lending dengan kreditor/investor. Dalam perjanjian tersebut umumnya terdapat pasal yang memberikan kewenangan bagi penyedia layanan P2P lending untuk bertindak demi kepentingan kreditur sehubungan dengan pinjaman. Dengan demikian, penyedia layanan P2P lending tetap berkewajiban untuk melakukan tindakan-tindakan yang tepat dalam membantu kreditur dalam hal terjadi non-performance atau gagal bayar oleh kreditur.

4.    Equity Crowdfunding

Apakah anda pernah mendengar istilah equity crowdfunding? Di Indonesia, mungkin istilah ini belum seterkenal pembiayaan berbasis fintech lainnya seperti P2P Lending, dan masih sedikit (bahkan mungkin belum ada) pelaku usaha yang bergerak di pelayanan equity crowd funding.

Seperti sudah disinggung sedikit tadi, equity crowdfunding merupakan salah satu alternative pembiayaan berbasis fintech. Pembiayaan dilakukan dengan penggalangan dana investor untuk memenuhi kebutuhan pembiayaan pelaku usaha yang menggunakan layanan equity crowdfunding. Sebagai imbalan, investor mendapatkan porsi equity atau saham dari pelaku usaha. Sekilas, metode equity crowd funding ini terdengar mirip dengan penggalangan dana melalui IPO saham di pasar modal.

Walaupun mirip, equity crowdfunding, seperti pembiayaan berbasis fintech lainnya, lebih ditujukan untuk pelaku usaha UMKM atau perusahaan start-up, yang umumnya belum memiliki resource yang cukup untuk mendapatkan pembiayaan dengan metode konvensional, seperti penjualan saham di pasar modal.

Kami melihat untuk implementasi equity crowd funding di Indonesia masih terdapat beberapa kendala yang perlu dipertimbangkan:

  1. Yang pertama, adalah dari segi regulasi. Masih belum ada regulasi yang mengatur industry usaha equity crowd funding. Regulasi diperlukan untuk menjamin perlindungan terhadap investor dan penerima pembiayaan. Keberadaan regulasi juga penting untuk menentukan struktur equity crowd funding yang tepat dalam konteks perundang-undangan Indonesia.  Misalnya, bagaimanakah pencatatan saham pada perusahaan yang menerima dana melalui equity crowd funding? Apakah saham tercatat atas nama penyelenggara equity crowd funding atau menjadi saham yang terpisah, seperti saham public dalam konteks pasar modal? Untungnya, sekitar awal bulan Juli 2018, OJK mengumumkan bahwa mereka sedang menggodok peraturan untuk mengatur industry ini.
  2. Yang kedua, ketertarikan masyarakat terhadap equity sebagai imbal hasil investasi. Kesadaran kebanyakan masyarakat Indonesia tentang investasi masih sangat minim. Lebih lagi, kebanyakan masyarakat Indonesia masih lebih tertarik dengan produk investasi yang langsung bisa menjanjikan keuntungan yang terukur; katakanlah dengan P2P lending, jelas keuntungan yang akan didapat adalah sekian persen bunga dari pinjaman.  Mendapatkan saham sebagai imbalan investasi mungkin belum begitu menarik bagi kebanyakan masyarakat Indonesia; kalaupun memang menarik, mereka pasti akan lebih memilih untuk membeli saham yang tercatat di pasar modal karena lebih aman dan lebih kecil resikonya.
  3. Yang ketiga, ketertarikan pelaku usaha terhadap equity crowd unding sendiri. Dalam pembiayaan dengan imbas hasil equity, penyelenggara equity crowd funding akan bersaing dengan perusahaan venture capital dan angel investors. Dari praktik yang sudah ada di dunia, pelaku usaha sering kali lebih memprioritaskan mencari pembiayaan dari venture capital dan angel investors terlebih dahulu sebelum mengarahkan pilihannya kepada equity crowd funding.