EKSISTENSI UNDANG-UNDANG POKOK AGRARIA DAN KEPENTINGAN BISNIS
PENDAHULUAN
“Tanah adalah karunia Tuhan Yang Maha Esa dan penguasaan atas tanah yang tertinggi adalah hak bangsa Indonesia yang merupakan penjelmaan daripada seluruh rakyat” (Boedi Harsono,1982)
Undang-Undang Nomor 5 tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok–Pokok Agraria (UUPA) merupakan suatu penciptaan unifikasi hukum agraria yang berdasarkan hukum adat (Boedi Harsono,1982). Kelahiran UUPA dimaksudkan sebagai suatu langkah untuk menghapus pluralisme hukum agraria saat itu, karena sebelum UUPA lahir pengaturan hukum agraria selain berdasarkan hukum barat juga diatur dengan berbagai hukum adat yang tumbuh dan berkembang di masyarakat adat Indonesia.
UUPA yang saat ini masih menjadi sumber hukum tanah di Indonesia dalam perjalanannya banyak menuai kritik dan tantangan. Perkembangan dunia (usaha) yang begitu cepat tidak dapat diimbangi dengan perkembangan hukum tanah, berbagai peraturan pelaksana dari UUPA yang seharusnya dapat memenuhi ekspektasi dunia usaha belum terwujud. Pertambahan jumlah penduduk dan kebutuhan lahan pertanian dan industri memaksa terjadinya salib menyalib peruntukan tanah, banyak tanah pertanian produktif berubah menjadi daerah hunian dan industri.
Empat puluh tahunan yang lalu ketika saya duduk di kelas Sekolah Dasar, di kampung saya Cikarang, Jawa Barat, sawah dan ladang pertanian dapat dilihat sejauh mata memandang dan menjadi surga bermain serta mencari ikan yang menjadi kenangan indah saya. Sekarang saya hampir tidak mengenali lagi tempat-tempat tersebut karena sudah berubah menjadi pabrik dan hunian yang padat. Dari ilustrasi sederhana tersebut saja dapat dipahami bahwa kondisi lahan pertanahan telah berubah dengan cepat dan hal ini haruslah diimbangi segera dengan kebijakan hukum pertanahan yang berlatar kini dan antisipatif terhadap masa datang.
Tarik menarik berbagai kepentingan bisnis banyak berpengaruh dalam membuat UUPA semakin terasa out of date dan terpojok, mengingat falsafah bijak pembuat UUPA bahwa tanah adalah karunia Tuhan Yang Maha Esa dan penguasaan atas tanah yang tertinggi adalah hak bangsa Indonesia yang merupakan penjelmaan daripada seluruh rakyat (Boedi Harsono,1982).
Falsafah tersebut mengandung arti mulia bahwa pengelolaan hak tanah harus dilakukan dengan bijak dan harus dapat dinikmati oleh seluruh rakyat dan bangsa sebagai pemegang hak tertinggi. Namun dalam kenyataannya UUPA dianggap sebagian orang sudah tidak lagi dapat melindungi hak–hak bangsa Indonesia tersebut, karena banyak hak adat dan ulayat yang dibabat, penggusuran terjadi dimana-mana, spekulasi tanah banyak dilakukan oleh pengembang perumahan dan pengusaha, UUPA malah memberi peluang dan kemudahan bagi pemilik akses modal dan politik untuk beria-ria.
Kenyataan ini mendorong kelompok populis mengupayakan peninjauan kembali terhadap kebijakan pertanahan yang berdampak kepada ketidak adilan dan kesenjangan sosial (Maria S.W Sumardjono, 2001). Sebaliknya kelompok dunia usaha justru berpendapat bahwa UUPA sudah tidak punya competitive advantages, tidak antisipatif terhadap arus penanaman modal dan karenanya harus direvisi. Gagasan untuk memberikan HGU dan HGB berjangka 100 tahun, pemberian hak milik kepada WNA dan Badan hukum Asing merupakan resonansi dari pemikiran ini (Maria S.W Sumardjono, 2001).
Angan-angan untuk merevisi UUPA sepertinya akan menjadi perjalanan yang panjang dan berbatu; Rancangan Undang-Undang Pertanahan saat ini masih dalam tahap pembahasan dan masih terdapat 614 poin persoalan yang tercatat dalam Daftar Inventaris Masalah. Tentunya RUU Pertanahan dan kebijakan pertanahan perlu kembali memperhatikan falsafah mulia UUPA untuk melindungi hak rakyat, tapi juga tetap mempertimbangkan pertumbuhan ekonomi nasional dan kebijakan investasi yang baik.
UUPA DAN KEPENTINGAN INDUSTRI KEUANGAN.
Tanah memegang peranan penting bagi industri keuangan khususnya perbankan dan finance company, karena tanah masih dianggap punya nilai lebih sebagai agunan kredit. Kredit modal usaha juga dapat dianggap aman, apabila terdapat jaminan tambahan berupa hak atas tanah. Bahkan perbankan terakhir ini portfolio kreditnya lebih diarahkan ke retail banking (KPR), karena disamping aman juga bersifat spreading risk. Dunia perbankan memang masih trauma terhadap corporate loan, mengingat pengalaman masa lalu, dimana banyak bank terjungkal karena problem loan yang tidak dapat terselesaikan. Ditambah dengan banyaknya mark up harga tanah yang diagunkan, serta problem dalam kepemilikan hak atas tanah.
Dalam beberapa kasus tanah, terlihat bahwa pemegang sertipikat hak atas tanah dapat saja digugat oleh pemegang vervonding Indonesia/girik/ketitir yang sebenarnya hanya tanda bukti bayar pajak. Hal ini disebabkan UUPA dan peraturan pendaftaran tanah menganut sistem pendaftaran tanah negatif, yaitu bahwa pembukuan hak dalam daftar buku tanah tidak mengakibatkan orang yang sebenarnya berhak kehilangan haknya. Sistem pendaftaran tanah seperti ini mengakibatkan pemegang sertipikat hak atas tanah harus menunggu lima tahun agar ia aman dari gugatan pihak ketiga (PP 24/1997 Pasal 32).
Namun jangka waktu lima tahun itupun dalam praktek peradilan sering diabaikan, orang dapat saja setiap saat melakukan klaim. Tidaklah heran apabila dalam suatu bidang tanah dapat diklaim oleh beberapa orang. Dari segi eksekusi hak tanggungan sebagai jaminan hutang pun tidak sepenuhnya berjalan mulus, banyak kendala baik dari segi hukum acara (secara normatif yuridis hak tanggungan bersifat executable atau dapat dieksekusi tanpa melalui gugatan, namun dalam praktek bisa berlangsung lama seperti proses gugatan), juga kendala teknis dan sosial saat pengosongan bidang tanah yang dieksekusi. Namun demikian bagi perbankan jaminan kredit berupa tanah masih dianggap aman, karena nilainya dianggap stabil dan tentunya tidak dapat dibawa kabur oleh debitur. Belajar dari berbagai pengalaman, analisa kelayakan agunan kredit oleh perbankan harus lebih proper, baik dari segi dokumentasi hukum, letak tanah, nilai likuiditas dan segi kelayakan lainnya.
Perusahaan Pembiayaan (finance company) khususnya yang bergerak di bidang usaha sewa guna usaha (leasing) menghadapi banyak kendala ketika menjadikan tanah sebagai obyek leasing, disamping tanah tidak dianggap barang modal juga dikarenakan adanya kendala konstruksi hukum leasing (finance lease) yang mengharuskan ownership tanah harus ada pada lessor dan pada akhir jangka waktu lease ada opsi beli dari lesee, bisa dibayangkan bagaimana rumitnya, karena paling tidak harus ada dua kali transaksi peralihan hak atas tanah dan pendaftaran haknya.
Menyiasati hal itu banyak perusahaan leasing menggunakan konsepsi pemisahan horizontal (UUPA menganut asas bahwa penguasaan hak atas tanah terpisah dengan kepemilikan bangunan dan atau segala sesuatu yang di atas tanah tersebut). Sehingga berdasarkan konsepsi pemisahan horizontal tersebut, obyek pembiayaan leasing dilakukan atas bangunan, sedangkan tanahnya menjadi agunan pembayaran hutang leasing. Namun konstruksi ini pun masih dipandang terlalu rumit, sehingga finance company menghindari pembiayaan atas tanah dan bangunan, kalau pun ada digunakan lembaga pembiayaan konsumen (consumer financing).
UUPA DAN KEPENTINGAN BISNIS PROPERTI
Bisnis properti yang sempat terpuruk selama krisis, sekarang mulai bergeliat kembali. Bangunan bertingkat yang sempat berkarat selama krisis mulai terlihat diteruskan pembangunannya. Bukan karena ekonomi negara sudah semakin membaik (meskipun peringkat investasi Negara kita terus meningkat dan pada 2017 akhirnya meraih investment grade), tapi salah satunya karena perbankan sudah mulai melepas kredit dan membiayai sektor properti lagi.
Pembangunan pusat perbelanjaan, mal dan apartemen di berbagai lokasi seolah menutupi kenyataan bahwa negara kita masih bergelut dengan masalah pertumbuhan ekonomi. Geliat peningkatan pasar properti sepertinya akan kembali menggugah masalah-masalah hukum pertanahan yang sempat ikut tertunda selama krisis. Masalah peruntukan dan tata guna tanah, strata title, masalah pola penjualan strata title, masalah kredit dan agunan tanah serta berbagai masalah seputar hukum pertanahan kembali muncul kepermukaan. UUPA yang berasaskan hukum adat terasa belum dapat mencakup perkembangan bisnis properti yang begitu pesat. Oleh karenanya untuk mengantipasi perkembangan strata title di Indonesia dibuatlah perundang-undangan khusus terkait rumah susun, yang saat ini diatur oleh UU No. 20 tahun 2011.
Isu yang juga menarik untuk dibahas adalah terbitnya PP No. 11 tahun 2010 tentang Penertiban dan Pendayagunaan Tanah Terlantar (“PP 11”), dalam PP 11 ini suatu bidang tanah dikategorikan terlantar apabila tidak diusahakan, tidak digunakan atau tidak dimanfaatkan sesuai dengan keadaannya atau sifat dan tujuan pemberian haknya. Pemberlakuan PP 11 mengakibatkan para pemegang hak was-was atas harta bendanya. Developer yang sudah bersusah payah dan mungkin meminjam dana perbankan, karena kondisi tertentu belum dapat melakukan pembangunan, bisa tiba-tiba kehilangan hak tanahnya karena penerapan PP 11 ini, padahal kondisi belum memungkinkan dilakukannya pembangunan karena disebabkan banyak faktor, misalnya: permodalan sendiri atau dana perbankan yang semula direncanakan tiba-tiba gagal, pasarnya tiba-tiba berubah sehingga dibangun pun pasti tidak akan ada pembeli, atau rencana jalan tol atau lapangan terbang yang direncanakan pemerintah batal, dialihkan atau ditunda, sehingga tidak mungkin pembangunan dilanjutkan. Jadi PP 11 ini tidak mengakomodasi kondisi yang terjadi secara lumrah di masyarakat dan dunia usaha, Pemegang hak tidak dilindungi hak asasinya karena hak tanahnya terancam hilang begitu saja, lalu bagaimana mengembalikan modal pinjaman mereka?
Perdebatan lain yang muncul adalah mengenai pola penjualan properti saat ini, dimana para pembeli sudah harus memberikan uang muka dan booking fee, jauh-jauh hari sebelum properti tersebut dibangun. Dari sudut bisnis dapat dikatakan bahwa para pengembang membangun properti sebagian (besar) dibiayai oleh uang muka dan booking fee dari (calon) pembeli. Dari segi yuridis apakah transaksi ini sudah merupakan jual beli hak atas tanah? Kalau pola transaksi ini ditinjau dari UUPA jo UURS maka transaksi ini melanggar ketentuan UU tersebut, karena dalam konsepsi hukum adat, jual beli haruslah terang dan tunai, artinya transaksi jual beli properti khususnya strata title harus dilaksanakan setelah seluruh properti telah selesai dibangun. Tentunya kalau paham ini dipakai dapat dipastikan bahwa bisnis properti akan kembali terkulai lunglai bahkan mati. Tetapi apabila transaksi ini ditinjau dari sudut hukum perjanjian, maka transaksi ini adalah merupakan suatu pengikatan jual beli atau suatu perjanjian bersyarat. Tinggal apakah syarat perjanjian dalam Pasal 1320 KUHPer sudah terpenuhi atau tidak. Hal penting yang perlu digarisbawahi adalah pengawasan pemerintah terhadap para pengembang, karena sudah banyak kasus dimana pengembang mengemplang uang muka dan booking fee sementara properti tidak pernah dibangun. Perlu dipikirkan adanya rating pengembang dan uang muka serta booking fee harusnya dimasukan kedalam escrow account atau setidak-tidaknya atas uang tersebut dikenakan interest yang tentunya dibawah interest rate bank.
GREEN PROPERTY DAN ISU LINGKUNGAN
Ketika UUPA dilahirkan para pembuat UU tentu belum dapat membayangkan, bahwa perkembangan pembangunan properti bisa jadi seperti sekarang ini, peruntukan dan tata guna tanah sudah sedemikian complicatednya, tanah pertanian berubah menjadi hypermall, apartment mewah, perumahan elite atau bangunan perkantoran yang menjulang tinggi. Lingkungan fisik dan sosial telah berubah dan tercemar tidak terkendali, sehingga isu lingkungan dan keperdulian terhadap lingkungan telah menjadi sebuah isu kritis bagi kehidupan, ekonomi, bisnis dan politik.
Pembangunan yang ramah lingkungan sudah tidak dapat ditawar lagi. Meskipun pembangunan ramah lingkungan ini telah disetujui dan menjadi bagian dari kebijakan pemerintah, namun pelaksanaannya banyak mengalami hambatan.
Para birokrat, pakar ekonomi, usahawan dan bahkan pakar lingkungan hidup berpegangan pada tesis bahwa melindungi lingkungan memerlukan biaya, baik biaya riil maupun opportunity lost. Kontroversi ini mengharuskan pemerintah memilih antara pembangunan (ekonomi) atau lingkungan lebih dulu. Karena tingkat hidup kita masih rendah, maka pembangunan (ekonomi) yang didahulukan (Otto Soemarwoto, 2001). Sikap tidak ramah lingkungan ini juga menjalar kepada masyarakat, untuk mendapat keuntungan sesaat banyak anggota masyarakat merusak lingkungan, meskipun mereka tahu akibat dari perbuatan mereka. Demi keuntungan yang maksimal pengusaha merasa tak bersalah merusak lingkungan. Oleh karenanya konsep green property menjadi hal yang tidak dapat ditawar lagi dalam kondisi saat ini.
Dari pemaparan di atas dapat disimpulkan bahwa sudah saatnya UUPA diperbaharui, tentunya dengan tetap mempertimbangkan falsafah mulia yang mendasari terbentuknya UUPA. Yang dibutuhkan saat ini adalah suatu kebijakan hukum tanah yang dapat mengimbangi pesatnya perkembangan dunia dengan tetap menampilkan ciri khas hukum adat Indonesia yang kekeluargaan dan mementingkan hajat hidup orang banyak.
Dr. Rudi Agustian Hassim, S.H., M.H.
Managing Partner RAH & PARTNERS LAW FIRM